Arief menilai, sikap guru kurang mendukung pembentukan sikap pada siswa, sehingga yang terjadi hanya transfer ilmu dan pengetahuan, bukan transformasi sikap kepada pelajar. Untuk pelajaran Pancasila, misalnya, siswa hanya mengetahui isi pelajaran Pancasila tanpa mengetahui cara bersikap dari nilai-nilai Pancasila. "Orang tahu dan mengerti bukan berarti dia bisa bersikap," kata Arief.
Orang tua juga tak luput dari tanggung jawab karena harus menanamkan sikap kepada putra-putri mereka. Misalnya, bagaimana bersikap sesuai dengan agama Islam, bahwa di dalam Islam tidak disebutkan bagaimana membentuk negara Islam, tapi bagaimana memperkokoh kehidupan masyarakat Islam.
Arief menilai selama ini fenomena yang muncul dalam dunia pendidikan nasional adalah perhatian pada kekuatan kognitif siswa semata, bukan penekanan pada sisi afektif mereka. Ibaratnya, pengetahuan sudah dikemas dengan baik, sedangkan sikap sebagai akibat dari pengetahuan justru tidak dikuasai siswa.
"Selama ini hanya fokus pada hal-hal yang dapat diukur dan diamati, misalnya nilai," kata Arief. "Padahal, hal-hal yang tidak terukur dan teramati justru lebih penting."
Tak hanya proses pembelajaran untuk pembentukan sikap, Arief juga menilai kekeliruan pendidikan nasional terletak pada sistem evaluasi. Selama ini yang dievaluasi hanya nilai, sedangkan sikap pelajar sering diabaikan guru. "Yang penting bukan mata pelajarannya, tapi proses dan evaluasinya."
MAHARDIKA SATRIA HADI
http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2011/05/12/brk,20110512-334071,id.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter
No comments:
Post a Comment