Bidang Peningkatan Kualitas Akademik

Bidang Peningkatan Kualitas Akademik


SMAN 93

Thursday, May 5, 2011

DUNIA PENDIDIKAN DI ERA GLOBAL

7 agustus 2008
oleh Rohadi Wicaksono

Dominasi era global telah membuat para penyelenggara pendidikan terjebak dalam perasaan ketidak-pastian dengan sistem pendidikan saat ini.

Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan-kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, melampaui kesiapan lembaga-lembaga pendidikan dalam mendesign kurikulum, metode dan sarana yang dimiliki guna menghasilkan lulusan-lulusannya memasuki sebuah era yang ditandai dengan tingkat kompetisi dan perubahan yang begitu masif dan cepat.

Saat ini, persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan bukan lagi sekadar relevansi antara content yang diberikan kepada peserta didik dengan kebutuhan dunia kerja supaya lulusannya siap memasuki dunia kerja, tetapi dunia pendidikan juga dituntut untuk selalu mencermati relevansi dimensi paedagogies-didaktif
antara lain :
  • tehnik pengajaran,
  • kurikulum,
  • metode,
  • tempat pembelajaran
  • dsb
dengan trend budaya global.

Profesor Mastuhu dalam Menata Ulang Pemikiran Sitem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 mengemukakan : “Globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau “mensejagat”.

Sesuatu entitas, betapapun kecilnya, disampaikan oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan, data, informasi, produksi, temuan obat-obatan, pembangunan, pembangunan, pemberontakan, sabotase, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat itu pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia.

Hal ini biasanya banyak terjadi di lingkungan politik, bisnis, atau perdagangan, dan berpeluang mampu mengubah kebiasaan, tradisi, dan bahkan budaya. Misalnya, Mc Donald’s, Berger King, Domino’s Pizza, Kentucky Fried Chicken, Jean’s, tas tangan merk Gucci dari Itali dan lain sebagainya.

Barang-barang ini telah mampu mengubah kebiasaan, dari sejak : makan, pakaian, dan gaya hidup seseorang atau kelompok dari “tradisi lokal” ke “tradisi global”.

Yang perlu dicermati adalah globalisasi membawa akibat terjadinya perubahan yang terus menerus dan semakin cepat. Fenomena perubahan yang kian berakselerasi memberi imperatif berbagai lembaga pendidikan yang ada untuk terus melakukan self reform jika ingin tetap mempertahankan eksistensinya di jaman yang berlari seperti sekarang.

Namun, juga perlu diperhatikan bahwa jika reformasi dilakukan secara serampangan, sekadar reaktif dan tidak visioner, justru akan menyebabkan terjadinya degradasi kemanusiaan di masa mendatang.

Misalkan, sekitar tahun 80-an, dunia pendidikan kita dikritik habis-habisan oleh masyarakat, khususnya dari kalangan dunia kerja. Lulusan sekolah, baik sekolah menengah maupun perguruan tinggi, dikeluhkan tidak memiliki kapasitas dan ketrampilan yang memadai seperti dibutuhkan oleh dunia kerja. Mereka hanya pandai berteori, tetapi tidak menguasai teknis-praktisnya. Tak ayal, kurikulum pendidikan, metode pengajaran, prasarana dan sarana praktek dan link and match dalam lembaga pendidikan menjadi pembicaraan publik.

Dunia pendidikan bukannya tidak memahami atas persoalan tersebut. Negara, sebagai pihak yang mengemban amanat penyelenggara pendidikan terus melakukan upaya-upaya penyempurnaan terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun sayangnya, kebijakan-kebijakan penyempurnaan yang dibuat cenderung bersifat reaksioner. Kurang didasari visi yang jelas.

Doni Koesoema A dalam artikelnya ‘Pendidikan Manusia Versus Kebutuhan Pasar’ menilai bahwa tanggapan pemerintah atas berbagai persoalan dalam dunia pendidikan terkesan lebih bersifat reaksioner ketimbang visioner.

Kebijakan yang diambil pemerintah dalam meningkatkan kualitas dunia pendidikan hanya didasarkan sikap reaktif, kaget, bingung, bahkan sekadar memenuhi kepentingan dan kebutuhan sesaat.

Keluhan, bahwa ganti menteri ganti kebijakan, ganti buku pelajaran, dan lain-lain adalah afirmasi atas situasi ini. ( Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas, 2004 ).

Selanjutnya, Doni Koesoema memberi contoh kebijakan pemerintah yang kurang didasari visi jangka panjang di bidang pendidikan : “…… pendidikan kita ditengarai menghasilkan orang-orang yang tidak siap masuk dunia kerja. Karena itu, satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah menyiapkan sekolah-sekolah agar menghasilkan orang-orang yang siap memasuki dunia kerja. Bagaimana caranya ?

Diperkenalkan program link and match. Program link and match dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud, kini berubah menjadi Mendiknas ) Wardiman Djojonegoro     ( 1193-1998 ) yang mengaitkan berbagai macam program dan kurikulum di sekolah dengan tuntutan yang dibutuhkan perusahaan…….”

Program link and match ini dalam implementasinya bernama Pendidikan Sistem Ganda ( PSG ). Dengan PSG dimaksudkan sebagai model belajar sambil magang kerja. PSG merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang memadukan secara sistemik dan sinkron program pendidikan sekolah dan program penguasaan keahlian/ketrampilan yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja dan diarahkan untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.

Dilihat sepintas, barangkali tidak ada yang keliru dengan PSG ini. Namun jika dicermati lebih jauh, maka akan terlihat bahwa visi yang ada di balik kebijakan PSG ini sangat membahayakan. Saat itu, link and match  dianggap sebagai sebuah imperatif yang harus diterapkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Ini merupakan dominasi dunia industri yang dibiarkan masuk dalam sistem pendidikan tanpa mempertimbangkan kerugian yang akan diderita peserta didik dan bangsa secara umum.

Persoalan-Persoalan Yang Dihadapi Dunia Pendidikan
Dengan link and match  seolah-olah  satu-satunya tujuan pendidikan yang dibenarkan adalah mempersiapkan peserta didik untuk cocok masuk sebagai salah satu bagian dari dunia industri. Maka, segala upaya pendidikan adalah harus disesuaikan memenuhi kebutuhan dunia kerja. Sekali lagi, program link and match   tidaklah salah. Karena tujuan peserta didik menjalani pendidikan adalah untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja. Namun, menjadi bahaya manakala ini diasumsikan sebagai satu-satunya tujuan pendidikan. Dengan berasumsi demikian, maka fungsi-fungsi lain dari pendidikan direduksi, jika tidak dikatakan dihilangkan.

Lembaga pendidikan yang mendesign kurikulumnya guna membekali peserta didiknya dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan dunia kerja merupakan sikap yang bijak. Karena, menciptakan sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat merupakan sebuah tuntutuan yang mendesak dan terus ada. Namun, merupakan cerminan keterbatasan horizon pemikiran manakala beranggapan bahwa tujuan pendidikan semata-mata demi memenuhi kebutuhan praktis sesaat.

Kebijakan pendidikan yang dilatari oleh horizon berpikir sempit seperti ini berpotensi melahirkan proses dehumanisasi pada diri peserta didik. Pendidikan yang terlalu memfokus pada upaya mencetak tenaga-tenaga trampil yang dibutuhkan dunia industri dan melupakan tujuan-tujuan pendidikan yang lain, akan melahirkan robot-robot berbaju manusia.

Implikasi dari kebijakan-kebijakan pendidikan semacam itu telah lama kita rasakan. Misalkan, rendahnya moralitas, rendahnya sikap toleransi, rendahnya sikap menghargai sesama, lemahnya mental enterpreuner, rendahnya mental team-work, minimnya jiwa kepemimpinan dan lain-lain.

Percepatan inovasi yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut manusia-manusia pembelajar yang terus mau dan mampu meng-upgrade diri. Ini berarti lembaga pendidikan harus juga mampu mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar  peserta didiknya. Lembaga pendidikan harus memberi ketrampilan learn how to learn.

Ketika lembaga-lembaga pendidikan ‘dipaksa’ mendesign kurikulumnya hanya untuk kepentingan link and match, dan mengabaikan learn how to learn ini, pasti akan menghasilkan generasi-generasi yang gagap terhadap aneka perubahan yang terjadi di era global ini.

Barangkali, generasi hasil program link and match akan menunjukkan kinerja yang memuaskan saat mereka baru memasuki dunia industri/kerja. Namun, ketika perusahaan harus menggunakan instrumen-nstrumen baru, yang ini berarti menuntut para pekerjanya untuk mempelajari hal-hal baru, maka umumnya performance dari generasi ini akan mengecewakan. Mereka kurang memiliki ketrampilan untuk mempelajari hal-hal baru.

Belum lagi jika kita lihat fakta bahwa jenis-jenis pekerjaan yang sepuluh sampai dua puluh tahun lalu masih berjaya, kini satu per satu mulai sirna ditelan arus perubahan.

Seperti diuraikan di atas, lembaga pendidikan yang terlalu terfokus pada program link and match bertujuan menghasilkan output yang memiliki ketrampilan pada jenis pekerjaan tertentu. Permasalahan muncul manakala jenis pekerjaan yang dikuasai tersebut dipaksa sirna, maka yang bersangkutan tidak mampu berbuat apa-apa.

Ketrampilan yang dimiliki dari lembaga pendidikan yang telah ditempuh menjadi tidak berguna bagi hidupnya. Artinya, program link and match yang dilakukan secara gegabah akan mempersempit ruang kerja alumninya.

Kemajuan di bidang teknologi informasi memang banyak memberi kemudahan bagi kita saat ini. Melalui berbagai media elektronik ( televisi dan internet ), kita dan anak-anak kita setiap detik dibanjiri dengan berbagai informasi dari berbagai belahan dunia.

Banyak informasi yang memang berguna bagi kita dan anak-anak kita untuk meningkatkan pengatuan, ketrampilan dan sikap.  Namun, juga harus diakui bahwa kemudahan dan manfaat yang ditawarkan, banyak juga sisi mudhlaratnya. Resahnya para orangtua akan maraknya pornografi di dunia maya, kejahatan dan penipuan yang terjadi di dunia maya memberi bukti atas hal ini. Banyaknya sisi mudhlarat tersebut bukan berarti kita bisa menjauhkan diri dari pemanfaatan teknologi informasi. Karena, siapa pun yang menjauhkan diri dari gegap gempitanya dunia teknologi informasi ini akan ditinggal oleh arus perubahan. Akan terjerumus dalam kategori golongan primitif.

Alvin Toffler dalam bukunya Culture Shock :”Globalisasi, selain menghadirkan peluang “positif” untuk hidup mudah, nyaman, murah, indah dan maju; juga dapat menghadirkan peluang “negatif” sekaligus, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan,, dan penyesatan. Globalisasi bekerja selama 24 jam dengan menawarkan banyak pilihan dan kebebasan yang bersifat pribadi. Pendek kata, dewasa ini telah terjadi “banjir pilihan dan peluang”, terserah kemampuan seseorang untuk memilikinya.

Mencermati apa yang dikemukakan Toffler di atas, secara tersirat memberi amanat bahwa dunia pendidikan harus memberi satu life skill  kepada peserta didik yang saat ini sangat penting, yakni ketrampilan mencari, menyaring, memilah dan memanfaatkan berbagai informasi, peluang dan pilihan dengan benar. Sekaligus juga memberi nilai-nilai hidup untuk berani membuang informasi dan pilihan yang tidak berguna dan merusak.

No comments:

Post a Comment