Bidang Peningkatan Kualitas Akademik

Bidang Peningkatan Kualitas Akademik


SMAN 93

Wednesday, March 23, 2011

Tiga Universitas Paling Diburu Calon Mahasiswa

 SELASA, 22 MARET 2011 | 18:42 WIB

Universitas Gadjah Mada/TEMPO/Sudaryono
TEMPO Interaktif, Bandung - Dalam waktu yang tak lama lagi, lulusan SMU bakal berebut masuk perguruan tinggi. Mereka akan berduyun-duyun menyerbu universitas negeri yang ada di Indonesia. 

Menurut Kepala Humas Universitas Padjadjaran, Bandung, Wenny Widyowati, jumlah pendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dari jalur undangan di seluruh Indonesia sekitar 132 ribu siswa kelas XII. "Universitas Padjadjaran termasuk dalam tiga besar perguruan tinggi negeri yang paling diminati," ujarnya, Selasa, 22 Maret 2011.


Anggota Kelompok Kerja Humas Panitia Pusat SNMPTN, Bambang Hermanto mengatakan, peringkat teratas adalah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kampus yang membuka 68 program studi itu diminati 34.922 pendaftar.


Posisi kedua ditempati Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Sebanyak 32.363 pendaftar bersaing masuk ke 55 program studi. 


Sedangkan kampus favorit ketiga dipegang Universitas Padjadjaran, Bandung, dengan 27.292 pendaftar.


Berikut peringkat 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia dengan jumlah pendaftar terbanyak lewat SNMPTN jalur undangan.


1. Universitas Gadjah Mada, 34.922 pendaftar
2. Universitas Indonesia, 32.363 pendaftar
3. Universitas Padjadjaran, 27.292 pendaftar
4. Universitas Diponegoro, 23.010 pendaftar
5. Universitas Brawijaya, 21.560 pendaftar
6. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 19.258 pendaftar
7. Universitas Negeri Yogyakarta, 19.254 pendaftar
8. Institut Pertanian Bogot, 17.203 pendaftar
9. Universitas Negeri Surabaya, 16.655 pendaftar
10. Univesitas Negeri Semarang,16.258 pendaftar


http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2011/03/22/brk,20110322-322087,id.html

Thursday, March 17, 2011

"Saya terkesima dan prihatin ketika menemukan anak-anak SD kita lebih berorientasi pada pendidikan internasional dan lebih banyak mengetahui sejarah bangsa lain dibanding bangsa sendiri,"

Karena Bahasa Inggris JK Larang Cucu Sekolah
"Cucu saya sempat tersinggung karena saya minta keluar dari sekolah, kenapa?"


VIVAnews - Tokoh Nasional HM Jusuf Kalla merasa heran dengan merajalelanya semacam 'sekolah bertaraf internasional' yang menggunakan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. 

JK, demikian sapaan Jusuf Kalla, prihatin karena takut ketika anak lebih memahami Bahasa Inggris maka pola pikirnya akan bermasalah.

"Cucu saya sempat tersinggung karena saya minta keluar dari sekolah, kenapa? Karena sekolahnya berbahasa Inggris," kata JK dalam momen 'Sutan Takdir Alisjahbana Memorial Lecture' di TIM, Jakarta, Selasa 27 Juli 2010.

JK berpendapat bahwa seharusnya sekolah itu lebih baik mengajarkan bahasa Indonesia. "Seperti Sutan Takdir Alisjahbana yang mengajarkan pendidikan Bahasa Indonesia," kata JK.

Karena bahasa ini penting menyangkut pendidikan yang semestinya menanamkan cara pandang dunia, mencerahkan visioner tentang kekayaan seni, budaya, tradisi, dan bagaimana karakter bangsa itu.

Catatan JK adalah bahwa pendidikan itu merupakan tempat dan lokus yang strategis untuk menyamai dan menanamkan harkat dan martabat diri sejak waktu paling dini. 

Apalagi soal bahasa bukan sekedar soal bertutur kata yang baik tapi juga menyangkut kemampuan menyusun logika, alur sistematika berpikir sehingga bisa dipahami dengan baik.

"Kalau sampai ketika cucu diinterview bisanya bahasa Inggris, saya terkejut. Nanti bagaimana dengan cara pikirnya," kata dia.

Tak kurang pentingnya pendidikan dasar juga menanamkan nilai-nilai menyangkut karakter dan jati diri bangsa. 

"Saya terkesima dan prihatin ketika menemukan anak-anak SD kita lebih berorientasi pada pendidikan internasional dan lebih banyak mengetahui sejarah bangsa lain dibanding bangsa sendiri," kata dia. (sj)


"Mau dibawa ke mana dan apa indikator keberhasilannya, sehingga tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, dan diperdalam dalam SBI," ucap Retno

"Sekolah-sekolah Publik Makin Komersil!"

JAKARTA, KOMPAS.com - Di saat Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan pejabat pemerintah kabupaten/kota di bidang pendidikan berkumpul dalam Rembuk Nasional Pendidikan untuk membahas kinerja ke depan Kemdiknas, para aktivis pendidikan dan organisasi pendidikan juga berkumpul dalam sebuah seminar di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (16/3/2011). Di sini mereka mengkritisi soal tetap dijalankannya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) oleh Kemdiknas.

Sejumlah aktivis pendidikan tersebut antara lain Utomo Dananjaya (Direktur Intitute for Education Reform Universitas Paramadina), Ade Irawan (Indonesia Corruption Watch/ICW), Retno Listyarti (Forum Musyawarah Guru Jakarta/FMGJ), serta tokoh-tokoh dari Koalisi Pendidikan, dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Hadir juga dalam seminar itu anggota Komisi E DPRD DKI, Jhony Simanjuntak.

Para aktivis dan pemerhati pendidikan tersebut menyatakan, RSBI telah menghambat tujuan pendidikan nasional. Pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan tidak akan terwujud selama RSBI/SBI terus dijalankan oleh Pemerintah karena dinilai banyak kelemahan.

Retno Listyarti misalnya, mengatakan bahwa grand design RSBI/SBI sangat tidak jelas.

"Mau dibawa ke mana dan apa indikator keberhasilannya, sehingga tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, dan diperdalam dalam SBI," ucap Retno.

Ia mengungkapkan, Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing school). Selain itu, RSBI juga menjauhkan peserta didik dari akar budaya bangsanya.

Retno menambahkan, pendidikan nasional seharusnya justru mengakar dari budaya bangsanya sendiri. Proses pendidikan semestinya tidak hanya untuk mempertajam pikiran, namun juga memperhalus perasaan peserta didik, sehingga proses pembelajaran dapat menanamkan nilai-nilai humanisme, pluralisme, multikultur, antikorupsi, dan sebagainya, sementara RSBI justeru menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.

"Sekolah-sekolah publik kini menjadi sangat komersial. Komersialisasi pendidikan inilah yang harus kita lawan, karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah di SBI. Diskriminasi dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan tekanan psikologis pada peserta didik," tambahnya.

Sementara itu, menurut Ade Irawan dari ICW, RSBI juga rawan korupsi. Tetapi, sampai saat ini pelakunya tidak pernah ditindak.

Ade menyatakan, korupsi pendidikan tidak pernah diusut, apalagi ditindak. Pengawasan atas penggunaan uang masyarakat melalui komite sekolah maupun dana APBD dan APBN di sekolah-sekolah sangat longgar.
"Praktik korupsi di sekolah-sekolah jika dikumpulkan dari seluruh sekolah di Indonesia dapat saja jumlahnya mencapai triliunan rupiah," tegasnya.


Wednesday, March 9, 2011

Indonesia tidak mempunyai kurikulum nasional. Kita hanya punya standar kompetensi dan kompetensi dasar yang kemudian diserahkan ke sekolah untuk acuan kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP

Jangan Asal "Comot" Kurikulum Asing

JAKARTA, KOMPAS.com - Kurikulum yang tidak terstruktur dengan baik dan kualitas guru yang memprihatinkan menjadi dua hal esensial yang menghambat pemerintah dalam mewujudkan program sekolah bertaraf internasional di Indonesia. Program rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) perlu dikaji ulang.
Kurikulum pendidikan suatu negara pasti berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik di negara itu. Indonesia harus seperti itu, jangan mencomot kurikulum dari negara lain.
-- Itje Chotidjah
Demikian dikatakan Education Advisor British Council Indonesia Itje Chotidjah di acara "EBE Symposium on The RSBI/SBI system in Indonesia: Policy and Practice", Rabu (9/3/2011), di Jakarta. Simposium yang membahas tentang evaluasi perjalanan program rintisan sekolah bertaraf internasional/sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) tersebut berlangsung sampai Kamis (10/3/2011).

"Menurut pengamatan saya kurikulum pendidikan yang tidak tersusun dengan baik dan kualitas guru yang memprihatinkan adalah dua hal yang menyulitkan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan berstandar internasional," kata Itje.


Dia mengungkapkan, sebuah kurikulum pendidikan suatu negara pasti berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik di negara tersebut. Sehingga, tambah Itje, kurikulum yang disusun dapat mengembangkan sumber daya manusia di negara tersebut.

"Indonesia harus seperti itu. Jangan mencomot kurikulum dari negara lain," ujar Itje.
Ia menambahkan, sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan manusia tanpa dilandasi suatu riset yang kuat, itu sama artinya seperti menunggu "bom waktu".

"Karena tidak mempunyai kurikulum nasional. Kita hanya punya standar kompetensi dan kompetensi dasar yang kemudian diserahkan ke sekolah untuk acuan kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP," ungkapnya.

"Apa jadinya dunia pendidikan kita, jika kurikulum yang tidak terstruktur secara baik ditambah kurikulum yang diadopsi dari negara lain?," ujar Itje.

Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris, perkuat bidang studi bahasa Inggris dan bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan

DESAKAN HENTIKAN RSBI/SBI MENGUAT 

KOMPAS – Rabu, 09 Maret 2011
Jakarta, Kompas  – Desakan agar pemerintah menghentikan penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf internasional semakin menguat. Desakan itu antara lain datang dari sejumlah guru dan anggota DPR.

Dalam pertemuan Ikatan Guru Indonesia (IGI) dengan sejumlah anggota Komisi X DPR di Jakarta, Selasa (8/3), para guru menyampaikan petisi pendidikan tentang sekolah bertaraf internasional (SBI).

Ketua Umum IGI Satria Dharma mengatakan, janji RSBI/SBI sebagai sekolah berkelas dunia dengan segala sistem manajemen, mutu guru, sarana, dan kriterianya tidak akan bisa dipenuhi. ”Program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya, dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan,” katanya.

Masyarakat akan merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program itu.

Itje Chotidjah, guru yang sering diminta mengajar guru-guru SBI belajar bahasa Inggris, merasa prihatin. ”Guru-guru SBI itu belajar bahasa Inggris dalam waktu yang sangat terbatas, lalu mereka disuruh mengajar materi pelajaran dalam bahasa Inggris. Murid bisa salah tangkap materi pelajaran,” ujarnya.

Ketua Dewan Pembina IGI Ahmad Rizali menambahkan, pemerintah mengasumsikan, untuk dapat mengajar hard science dengan pengantar bahasa Inggris, maka guru harus memiliki TOEFL lebih dari 500.
”Padahal, tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogi,” kata Ahmad.

Pengutamaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga memprihatinkan. Padahal, di Jepang, China, dan Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya memiliki kualitas dunia. 


Tidak efektif

Tidak efektifnya penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah lewat program RSBI/ SBI telah dikaji British Council dan hasilnya akan dipaparkan mulai Rabu ini.

”Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris, perkuat bidang studi bahasa Inggris dan bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan,” ujar Satria.

Dampak yang paling terasa dengan kebijakan RSBI/SBI yakni terciptanya diskriminasi dalam pendidikan. Pendidikan pun menjadi sangat komersial. ”Komersialisasi pendidikan inilah yang kami tentang karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah,” katanya.

Anggota Komisi X DPR, Dedi S Gumelar, mengatakan, program RSBI/SBI dalam pelaksanaannya banyak penyimpangan.

”SBI harus dikoreksi. RSBI/ SBI hanya menjadi market label. Tidak ada jaminan sekolah berlabel tersebut kualitasnya internasional.” ujar Dedi. Sebaliknya, banyak sekolah tidak berlabel itu justru kualitasnya sangat baik.

Secara terpisah, dalam rapat kerja nasional, Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta Indonesia (ALPTKSI) juga mendesak penghentian RSBI/SBI. ”Program ini wujud liberalisme pendidikan dan mengabaikan potensi bangsa,” kata Ketua ALPTKSI, Sulistiyo. (ELN)