Tawuran SMA 70 dan SMA 6 sepertinya sudah tercipta dari zaman purba. Tidak hanya antara kedua SMA itu, SMA 70 awalnya adalah SMA 11 dan 9 dilebur karena lokasi yang berdekatan kerap kali membuat mereka baku lempar. Selain SMA 70-SMA 6, kawasan Bulungan-Mahakam-CSW adalah tempat strategis kedua SMA itu “diserang” anak SMA 46 atau Texas, atau STM Penerbangan. Bahkan anak Bunda Kandung nan jauh di mato pun kerap kali datang mengunjugi area “lempar batu”.
Zaman saya sekolah dulu, kami menyebut tawuran itu “Sabtu Seru” [mengambil nama acara di salah satu TV swasta]. Karena hari Sabtu, biasa ekskul kemudian pelajaran lebih bebas, digagaslah tawuran. Sebenarnya waktu angkatan saya, sudah lumayan diredam, lho. Tiap Selasa dan Kamis kami diberi “pengayaan” sampai pukul 4 sore. Tiap Senin dan Rabu … uhm, apa, ya … pokoknya saya cukup lelah lah pulang sekolah, belum les ini itu dan BTA.
Kejadian kemarin adalah salah satu “tradisi” kedua SMA itu. Masalahnya, waktu sekarang tidak sama seperti saya SMA dulu. Sekarang kebebasan informasi di mana-mana. Stasiun TV tidak hanya dua atau tiga. Koran, majalah, tidak cuma tiga atau empat. Dan di masa seperti ini, teknologi yang jauh lebih maju, ilmu pengetahuan yang melesat, pertumbuhan penduduk Asia yang melejit, persaingan sekolah, pekerjaan semakin ketat, rasanya tidak zaman lagi tawuran antar sekolah.
Sebagai awak media, dan dua tahun ini kembali memegang kamera, naluri tentu tidak bisa lepas kalau ada kericuhan di masyarakat sipil beradab. Dan menurut saya, ketika anak-anak itu keluar sekolah lalu lepas kendali, di satu sisi badan dan tanggung jawab sudah dianggap dewasa, meski pikiran dan umur mereka masih anak-anak. Jujur, saya kaget anak seumur itu bisa menghardik, “Matikan kamera!” lantas merampas kamera dan mengambil kaset rekaman dari juru rekam. Tidak hanya itu, aksi damai juru warta pun dibuat ricuh dengan pemukulan dan penghancuran. Memang, sebagai wartawan, saya agak bingung juga dengan rekan-rekan yang berdemo di depan SMA 6. Kemudian buntutnya malah ricuh.
Padahal cukup dengan perlindungan oleh Undang-undang Pers, media bisa menggunakan dan mengambil jalur hukum kalau merasa dirugikan. Ada pasalnya di situ, kalau kita tidak boleh menghalangi pekerjaan wartawan. Kenapa memilih demo?
Dan meski wartawan dilindungi oleh UU Pers, bukan berarti wartawan itu dewa. Wartawan juga harus mengerti kalau anak-anak itu juga dilindungi oleh Undang-undang. Ada kode etik untuk menyamarkan wajah mereka karena masih anak-anak. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh TV kita yang memang belum dewasa ini!
Anak-anak [Indonesia] sekarang ini akrab dengan kekerasan yang gencar diberitakan oleh media massa terutama TV nasional. Mereka juga terbiasa dengan drama overacting dari beragam sinetron yang tidak bisa dihentikan dengan alasan rating. Mereka juga akrab dengan ketidakadilan yang dipertontonkan oleh pemerintah kita. Meski saya bilang tidak wajar, tapi saya mengerti mereka bisa bertindak seperti itu.
Aliansi Jurnalis Indonesia meskipun menyesalkan tindakan pemukulan dan anarkis anak-anak SMA itu, memberikan pernyataan sikap kalau anak-anak itu masih di bawah umur dan tidak menyarankan untuk diproses secara hukum. AJI meminta Kepala Sekolah dan guru di SMA tersebut untuk mendidik murid-muridnya memahami kebebasan pers dan perlindungan kegiatan jurnalistik terutama saat mencari informasi.
Mengerti, gejolak muda remaja itu tinggi. Belum lagi dengan adanya gadget di tangan, sewajarnya mereka juga bisa meredam gejolak tangan dan pikiran untuk memaki juru warta. Saya yang sangat liberal saja, ketika mau memaki di Twitter, berusaha menyamarkan kata makian dengan menggunakan tanda (*). Apalagi ini mereka menyumpahi seseorang mati. Kita masih tinggal di Indonesia yang sedang siap tinggal landas dan mengurangi konflik sosial di masyarakat, bukan di negara konflik.
Saya percaya, bahwa kekerasan anak-anak SMA ini adalah sesuatu yang “hip”, atau hanya ikut-ikutan teman atau seniornya. Sebagian mungkin terjadi karena anak di rumah kurang mendapat perhatian dari orangtua. Sebagai seorang alumni di sekolah yang tawuran sebagai “ekskul” dan kemudian menjelma menjadi seorang ibu, saya tentu miris. Tidak pernah terpikir oleh saya betapa khawatirnya orangtua dan teman-teman saya dulu. Tapi sekarang jelas saya khawatir dan ketar-ketir, bagaimana nasib anak saya dan anak-anak Indonesia nanti kalau kekerasan masih dipelihara, di lingkungan sekolah elit pula.
Seyogyanya, kita benahi lagi. Dari diri sendiri. Dari orangtua untuk memberikan contoh yang lebih lembut. Bertutur halus dan menyelesaikan setiap masalah dengan dialog. Dari para pendidik, untuk tidak arogan dan anggaplah semua anak itu adalah darah daging sendiri. Dan pekerja pers untuk lebih sering mendapat pelatihan jurnalistik lebih banyak lagi, supaya membuat sajian jurnalistik damai.
Tidak semudah seperti membalik telapak tangan memang. Tawuran ini sudah begitu mendarah daging dan “prestis” bagi sebagian anak-anak [alumni]. Tapi saya yakin, batu yang keras akan hancur kalau terus menerus ditetesi air.
*gambar dari sini